Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak
sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk
kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan
Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam
ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam
demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan
ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan
surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena
hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam
surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb
kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa
yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ
أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ
كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang
rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah
yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan
mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau
bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini
menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik
terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal
mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa
sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus
lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi:
dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat
berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak
perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk
kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha
menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada
dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si
wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya.
Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian
maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang
ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan
yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang
biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah
untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata,
“Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta
fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi
wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim
tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka
mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang
mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat
adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si
yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin
menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no.
7444)
Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ
يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي
يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang
wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka
dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para
wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ
الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ
يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي
ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang
berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut
berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si
yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga
suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si
wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan
enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat
berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak
perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam
perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal,
dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan
kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar
kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin
berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada
istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai
manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian
dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam
per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan
jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah
melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri
kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total
padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang
lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung.
Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak,
Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna
كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat
berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya
menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana
pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh
Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang
kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan
senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang
sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan
warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah
wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam
ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal,
maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli
waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka
nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya
dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada
keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan
tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah,
adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan
orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan
seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang
pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya.
Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena
laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang
yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia
yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari
penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua
kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian
terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan
kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri)
berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di
antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci istrinya
dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan
tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka
bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai
mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek,
bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi
(dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan
tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak
yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para
istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai
mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di
akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang
mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi)
ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya
seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada
istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa
dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya
tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas
cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan
halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ
وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا
غَلِيظًا
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian
dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang
di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil
kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa
yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita
adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena
penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ
وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلاَبِكُمْ
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian,
putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian
(bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan
ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan),
putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian,
saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian,
putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian
dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum
mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak
berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi
istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam
ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu
memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan
fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam
pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di
masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak
boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan
karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya
hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa`
yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas
bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya
demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari www.asysyariah.com)