Ada tiga jenis
ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya.
Bagaimana pun situasi dan kondisi, pasti dia akan menghadapinya. Tiga
jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1.
Perintah-perintah Allah SWT yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah SWT (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah
kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas
ketaatan kepada Allah SWT, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya.
2. Sabar dari
perbuatan maksiat, selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah SWT.
3. Sabar
atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah SWT..
(Lihat
Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [hlm. 90—91],
Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi [3/101], dan
Madarijus Salikin [2/156], dll.)
Sejauh manakah kesabaran dan penghambaan kita kepada Allah
Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis ujian dan cobaan itu? Sudahkah kita bersabar di atas ketaatan kepada Allah
Subhanahu wata’ala dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya?
Sudahkah kita bersabar dari perbuatan maksiat dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah
SWT? Sudahkah kita bersabar atas segala musibah yang menimpa dengan ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah
SWT?
Semoga Allah
SWT menutupi segala kekurangan kita dan mengampuni segala kesalahan kita.
Wallahul musta’an. Rasul saja masih memohon ampun bagaimana diri ini.
Di situlah seorang muslim akan diberi ujian dan cobaan
oleh Allah
Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis kesabaran di atas.
Allah
SWT berfirman :
الم () أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُو
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)
Ujian dan cobaan itu pun beragam bentuknya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan.
Allah
SWT berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kalian dengan keburukan dan kebaikan “Alif Laam Miim. Apakah manusia
mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak
diberi ujian?” sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada
Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Di antara ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang
tidak suka terhadap orang-orang yang istiqamah di atas jalan kebenaran.
Mereka mencela, menghina, mencibir, bahkan memusuhi orang-orang yang
istiqamah itu. Kondisi semacam ini bahkan telah dialami oleh para nabi
terdahulu yang mulia. Allah
SWT berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh
dariorang-orang yang berdosa. Cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk
dan penolong.” (al-Furqan: 31)
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Dengan demikian, tiada jalan keselamatan dari segala ujian itu selain
bersabar di atas kebenaran dengan mengedepankan sikap ilmiah, berpijak
di atas hikmah, tidak mengedepankan hawa nafsu ataupun perasaan, penuh
kehati-hatian dalam menilai dan melangkah (
ta’anni), tidak mudah bereaksi, dan tidak serampangan bertindak. Tentu saja, tidak lupa memohon pertolongan dari Allah
SWT Penguasa alam semesta dan berkonsultasi dengan para ulama yang mulia.
Satu hal penting yang patut dicatat, patokan kebenaran bukanlah
banyaknya\ jumlah pengikut atau orang yang mengerjakan sebuah amalan.Istilahnya kata orang banyak.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
hafizhahullah berkata :
“Di
antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah
mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Jadi, segala sesuatu
yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti
segelintir orang berarti salah. Inilah patokan mereka dalam hal menilai
kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar."
Karena
Allah
SWT berfirman,
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji.
Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orangorang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
dan sebagainya.”
Allah SWT berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah
SAW bersabda,
عُرِضَتْ
عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ،
وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ
مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat
seorang nabi yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang
bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang
pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhu)
Fenomena Syahwat dan Syubhat
Rasulullah
SAW bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741, dari Usamah bin Zaid
rahimahumallah)
Di antara godaan syahwat yang juga berbahaya bagi kehidupan beragama
seorang muslim adalah harta.
Slogan “waktu adalah uang” menjadi prinsip
hidup sebagian orang. Berpegang teguh dengan agama akan mewariskan
kemiskinan dan kesengsaraan, dianggap suatu keniscayaan. Tak
mengherankan apabila sebagian orang ada yang menjadikan harta sebagai
tolok ukur kesuksesan dan keberhasilan. Fenomena ini sungguh telah
terjadi pada diri Qarun, seorang konglomerat di masa Nabi Musa AS yang dibinasakan oleh Allah
SWT.
Menurut Qarun, limpahan harta yang ada pada dirinya merupakan bukti
kesuksesan dan keridhaan Allah kepadanya, sedangkan Nabi Musa AS dan
yang bersamanya tidak mendapatkan keridhaan dari Allah
SWT karena tak sukses dari sisi harta. Maka dari itu, Allah
SWT membantah persangkaan Qarun yang batil itu dengan firman-Nya
:
أَوَلَمْ
يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ
هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن
ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang
yang jahat itu tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)
Ujian harta ternyata tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan
semata, tetapi orang berilmu pun nyaris terancam manakala orientasi
hidupnya adalah dunia. Di mana ada “lahan basah” dia pun ada di sana,
walaupun harus mengikuti keinginan
big boss-nya yang kerap kali
tak sesuai dengan syariat dan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu
telah membelenggu fitrah sucinya, ayat-ayat Allah
SWT
(agama) dia jual dengan harga yang murah dan manhaj (prinsip agamanya)
pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi.
Dengan tegas Allah
Subhanahu wata’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan yang tercela itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ
بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا
الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا
أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke
dalamperutnya melainkan api. Allah tidak akan berbicara kepada mereka
pada hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa
yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menghadapi api neraka!” (al-Baqarah: 174—175)
Ada hal penting yang patut diperhatikan. Sikap selektif dan sensitif
dalam mendapatkan harta harus selalu dimiliki oleh setiap muslim, baik
untuk kehidupan pribadi maupun kepentingan dakwahnya. Tidak asal comot.
Tidak pula pakai prinsip “
aji mumpung”. Mumpung ada dana, diterima
sajalah!? Tanpa mencermati dari mana datangnya dana tersebut, apa latar
belakangnya, dan apa pula efek setelah mendapatkannya, baik yang
berkaitan dengan dirinya maupun berkaitan orang banyak.
Sudahkah kita bersabar menghadapi kondisi yang semacam ini? Marilah kita
menengok kesabaran diri, mudahmudahan taufik dan inayah Allah
SWt selalu bersama kita.
Amiin…
Semua itu mengingatkan kita akan sabda Rasulullah
SAW
بَادِرُوا
بِا عْألَْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ
الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ
كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang)
fitnah-fitnah (ujian dan cobaan) layaknya potongan-potongan malam. Di
pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan
kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam
keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya)
dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Sabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبعْتُمُوْهُمْ
‘Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -pen.
)
sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai
jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di
padang pasir, -pen.
) pasti kalian akan mengikutinya’.”
Akhir kata, semoga Allah
Subhanahu wata’ala
menganugerahkan kesabaran diri kepada kita dan memohon ampunan-NYA. Sehingga dimudahkan untuk
istiqamah di atas kebenaran kala ujian dan coban menerpa.
Ujian diri berarti tolak ukur keimanan sesorang kepada Allah SWT.
Amiin,