Ujian diri

 UJIAN DIRI
Ujian diri

http://agussalikur.blogspot.com/ujian diri.jpg.
Ujian diri

   Tak ada jalan yang tak berbelok Tak ada lautan yang tak berombak. Tak ada ladang yang tak berduri. Di mana ada kehidupan pasti di situ ada ujian dan cobaan. Allah SWT menjadikannya sebagai medan tempaan , untuk menguji kualitas kesabaran dan penghambaan segenap hamba-Nya.
 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata"
 “Sesungguhnya Allah SWT menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Allah  wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai.  Karena itu, perhatikanlah penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi Allah SWT pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.”

UJIAN DALAM KEHIDUPAN

 Ada tiga jenis ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya. Bagaimana pun situasi dan kondisi, pasti dia akan menghadapinya. Tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
     1. Perintah-perintah Allah SWT yang wajib ditaati.
     2. Larangan-larangan Allah SWT (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
     3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah SWT, dengan selalu mengerjakan segala  perintah-Nya.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah SWT.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah SWT..
(Lihat Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [hlm. 90—91], Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi [3/101], dan Madarijus Salikin [2/156], dll.)

Sejauh manakah kesabaran dan penghambaan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis ujian dan cobaan itu? Sudahkah kita bersabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala  dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya?
  Sudahkah kita bersabar dari perbuatan maksiat dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah SWT? Sudahkah kita bersabar atas segala musibah yang menimpa dengan ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah SWT?
 Semoga Allah SWT menutupi segala kekurangan kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Wallahul musta’an. Rasul saja masih memohon ampun bagaimana diri ini.
 Di situlah seorang muslim akan diberi ujian dan cobaan oleh Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis kesabaran di atas.
Allah SWT berfirman :
الم () أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُو
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)
Ujian dan cobaan itu pun beragam bentuknya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan.
Allah SWT berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan “Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)

Di antara ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang tidak suka terhadap orang-orang yang istiqamah di atas jalan kebenaran. Mereka mencela, menghina, mencibir, bahkan memusuhi orang-orang yang istiqamah itu. Kondisi semacam ini bahkan telah dialami oleh para nabi terdahulu yang mulia. Allah SWT berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dariorang-orang yang berdosa. Cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan: 31)

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)

Dengan demikian, tiada jalan keselamatan dari segala ujian itu selain bersabar di atas kebenaran dengan mengedepankan sikap ilmiah, berpijak di atas hikmah, tidak mengedepankan hawa nafsu ataupun perasaan, penuh kehati-hatian dalam menilai dan melangkah (ta’anni), tidak mudah bereaksi, dan tidak serampangan bertindak. Tentu saja, tidak lupa memohon pertolongan dari Allah SWT Penguasa alam semesta dan berkonsultasi dengan para ulama yang mulia.
Satu hal penting yang patut dicatat, patokan kebenaran bukanlah banyaknya\ jumlah pengikut atau orang yang mengerjakan sebuah amalan.Istilahnya kata orang  banyak.

 Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata :
“Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Jadi, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan mereka dalam hal menilai kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar."
 Karena Allah SWT berfirman,
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya  Kami mendapati mayoritas mereka orangorang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
dan sebagainya.”
Allah SWT berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah SAW bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat seorang nabi yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Fenomena Syahwat dan Syubhat
Rasulullah SAW bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741, dari Usamah bin Zaid rahimahumallah)

Di antara godaan syahwat yang juga berbahaya bagi kehidupan beragama seorang muslim adalah harta. Slogan “waktu adalah uang” menjadi prinsip hidup sebagian orang. Berpegang teguh dengan agama akan mewariskan kemiskinan dan kesengsaraan, dianggap suatu keniscayaan. Tak mengherankan apabila sebagian orang ada yang menjadikan harta sebagai tolok ukur kesuksesan dan keberhasilan. Fenomena ini sungguh telah terjadi pada diri Qarun, seorang konglomerat di masa Nabi Musa AS yang dibinasakan oleh Allah SWT. Menurut Qarun, limpahan harta yang ada pada dirinya merupakan bukti kesuksesan dan keridhaan Allah kepadanya, sedangkan Nabi Musa AS dan yang bersamanya tidak mendapatkan keridhaan dari Allah SWT karena tak sukses dari sisi harta. Maka dari itu, Allah SWT membantah persangkaan Qarun yang batil itu dengan firman-Nya :
أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang jahat itu tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)

Ujian harta ternyata tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan semata, tetapi orang berilmu pun nyaris terancam manakala orientasi hidupnya adalah dunia. Di mana ada “lahan basah” dia pun ada di sana, walaupun harus mengikuti keinginan big boss-nya yang kerap kali tak sesuai dengan syariat dan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu telah membelenggu fitrah sucinya, ayat-ayat Allah SWT (agama) dia jual dengan harga yang murah dan manhaj (prinsip agamanya) pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi. Dengan tegas Allah Subhanahu wata’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan yang tercela itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalamperutnya melainkan api. Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menghadapi api neraka!” (al-Baqarah: 174—175)
Ada hal penting yang patut diperhatikan. Sikap selektif dan sensitif dalam mendapatkan harta harus selalu dimiliki oleh setiap muslim, baik untuk kehidupan pribadi maupun kepentingan dakwahnya. Tidak asal comot. Tidak pula pakai prinsip “aji mumpung”. Mumpung ada dana, diterima sajalah!? Tanpa mencermati dari mana datangnya dana tersebut, apa latar belakangnya, dan apa pula efek setelah mendapatkannya, baik yang berkaitan dengan dirinya maupun berkaitan orang banyak.
 Sudahkah kita bersabar menghadapi kondisi yang semacam ini? Marilah kita menengok kesabaran diri, mudahmudahan taufik dan inayah Allah SWt selalu bersama kita. Amiin…
 Semua itu mengingatkan kita akan sabda Rasulullah SAW
بَادِرُوا بِا عْألَْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnah-fitnah (ujian dan cobaan) layaknya potongan-potongan malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبعْتُمُوْهُمْ
‘Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -pen.) sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, -pen.) pasti kalian akan mengikutinya’.”

Akhir kata, semoga Allah Subhanahu wata’ala  menganugerahkan kesabaran diri kepada kita dan memohon ampunan-NYA. Sehingga dimudahkan untuk istiqamah di atas kebenaran kala ujian dan coban menerpa.Ujian diri berarti tolak ukur keimanan sesorang kepada Allah SWT. Amiin,
Semoga menambah keimanan kita...secil ilmu ini.Amiin.

Countdown

Hai sobat Agussalikur berjumpa kembali ! Kali ini admin berbagi tips seputar blogger dalam topik Time Countdown, kebetulan admin contohkan m...