Bank Syariah tapi tidak syariah

Sejak bank syariah berkembang pesat di tanah air, saya sudah memindahkan semua rekening saya dari bank konvensional ke bank syariah. Kecuali satu rekening yang tidak saya pindahkan, yaitu rekening Bank BN*, karena semua transfer honor maupun gaji dari ITB “harus” dilakukan melalui bank BN* tersebut karena ada MOU antara ITB dan Bank BN*.
Alasan saya membuka rekening di bank syariah adalah untuk mendapatkan ketentraman secara ruhani, sebab bank syariah tidak menggunakan sistem ribawi dalam operasionalnya, yaitu sistem bunga uang yang diharamkan oleh agama.
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs.Al Baqarah:275).

Saya yakin Anda semua sudah faham tentang riba atau rente.
   Misalnya anda meminjam Rp1000,- kepada seseorang atau kepada bank, lalu orang atau bank tersebut mewajibkan Anda mengembalikannya sebesar Rp1100, maka Rp100 kelebihannya itu adalah riba, sesuatu yang sudah diharamkan oleh agama.
Bank Syariah
   Mulanya saya menabung atau menyimpan deposito di Bank Syariah tentu saja dengan keyakinan seperti itu. Saya mendapatkan bagi hasil per bulan dari uang yang saya simpan di bank. Darimana bagi hasil itu diperoleh? Pihak bank memutar uang nasabah untuk berbagai usaha yang menghasilkan profit, lalu bank mendapat keuntungan dari usaha tersebut. Keuntungan tersebut dibagi dua dengan nasabah, yang kisaran proporsinya biasanya sudah ditetapkan, misalnya 40% : 60% yang artinya 40% profit untuk nasabah dan 60% untuk bank. Jika untungnya besar, maka bagi hasilnya juga besar, jika untungnya kecil maka bagi hasilnya turun. Jika usaha tersebut mendatangkan kerugian, maka nasabah juga ikut menanggung rugi dengan tidak mendapat bagi hasil sama sekali. Ibaratnya berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Kalau untung dinikmati bersama-sama, kalau rugi ya sama-sama juga.

Bank konvensional
Bagi hasil itu dinamakan bunga (interest). Besar bunga fluktuatif dari awal, misalnya sekarang 8%. Hanya bedanya, jika bank mengalami kerugian dalam usahanya, maka nasabah tidak ikut menanggung kerugian, nasabah tetap saja mendapat bunga simpanan sebesar 8% tadi. Sebaliknya, jika bank mendapat untung besar dari memutar uang nasabah, bunga untuk nasabah tetap saja 8% sedangkan bank menikmati untung besar.

Dilihat dari kedua perbandingan di atas,  maka sistem bagi hasil pada bank syariah terasa lebih adil dan manusiawi.
Baiklah, kalau soal simpan-menyimpan uang tidak ada keraguan bagi saya tentang bank syariah. Saya menyetujui sistem bagi hasil seperti itu. Keraguan saya mulai timbul ketika membaca tentang proses meminjam uang dari Bank Syariah.
Misalnya :
Anda meminjam uang untuk kredit membeli rumah (KPR), atau meminjam uang untuk dana talangan haji, sebesar Rp10 juta. Phak Bank setelah melakukan survei lalu menyetujui usulan pinjaman anda, mereka memberikan anda pinjaman uang Rp10 juta dengan didahului proses akad (yang istilahnya bermacam-macam). Dalam akad itu Anda dan bank menyepakati skema pembiayaan (pengembalian uang). Katakanlah anda nanti harus membayar kembalian sebesar Rp12 juta dengan cara mencicilnya per bulan, misalnya mencicil pembayaran sebesar Rp1.200.000/bulan selama sepuluh bulan. Di sini bank mengambil keuntungan Rp2 juta dari pinjaman Anda. 

Dari contoh peminjaman uang yang saya paparkan di atas, maka saya jadi bertanya-tanya, apa bedanya model bank syariah sekarang ini dengan bank konvensional?
Menurut pendapat saya yang awam ini, mereka sama-sama memungut riba, hanya istilahnya saja yang berbeda. Pada bank konvensional namanya bunga, pada Bank Syariah namanya skema bagi hasil. Intinya sama saja, yaitu riba.
Pada bank konvensional skema pengembaliannya adalah membayar pinjaman plus bunganya, sedangkan pada bank syariah namanya mencicil per bulan. Pada bank syariah ada istilah akad kredit, pada bank konvensional namanya skema kredit (atau apapun namanya).
Pada hekekatnya, praktek keduanya sama saja. Malah, pada beberapa kasus saya pernah mendengar bank syariah lebih “kejam” daripada bank konvensional, sebab mereka menerapkan “bunga” lebih tinggi daripada bank konvensional.
Pada tulisan itu dikemukakan perdebatan yang terjadi anatra pendukung bank syariah dengan pihak yang tidak mendukung, masing-masing merasa yakin dengan argumentasinya.

Hingga saat ini saya masih tetap menggunakan bank syariah, alasannya karena di situ saya hanya menabung saja, tidak sampai meminjam uang. Kalau sekadar menabung saja sih bagi saya masih oke, tidak ada masalah (itu menurut pendapat saya lho). Tapi kalau soal peminjaman uang yang ada kelebihan yang harus dibayarkan (dengan berbagai nama dan istilah), disitulah titik krusial keraguan pada praktek bank syraiah.
 Bank Syariah tapi tidak syariah.
Alhamdulillah saya belum pernah meminjam uang ke bank (moga-moga jangan deh), baik ke bank konvensional maupun bank syariah, jadi saya belum mempunyai masalah dalam praktek sistem ribawi ini.
Jadi, menurut saya sebenarnya belum ada bank syariah di Indonesia yang benar-benar menerapkan sistem perbankan secara syar’i (sesuai ajaran agama). Lalu, kalau pun belum ada, apakah bunga uang pada bank konvensional menjadi halal? Menurut saya tidak juga, bunga uang pada bank konvensional tetap saja 100% haram hukumnya. Keraguan pada bank syariah tidaklah mengubah bunga bank konvensional otomatis menjadi halal.

Principku
"Saya masih tetap menabung di syariah. Selain karena hanya sekadar menabung, ada lagi alasan yang lebih prinsipil. Bank-bank syariah itu di-back-up oleh para ulama (namanya Dewan Syariah Nasional). Merekalah yang mengeluarkan fatwa tentang praktek perbankan syariah. Saya yakin fatwa para ulama itu adalah baik, sebab mereka meiliki kompetensi disitu. Jadi, jika nanti saya ditanya di akhirat mengapa saya tetap menggunakan bank syariah, maka saya sudah mempunyai jawaban: tanyakanlah kepada para ulama itu. Jika fatwa ulama sudah benar secara syar’i tetapi dimultitafsirkan oleh pengelola bank syariah sehingga hampir mirip dengan sitem ribawi, maka silakan pengelola bank itu menanggung dosanya."