Dalam Al-Quran tentang Surat Ali Imran (surat ke-3 di dalam Al-Quran).
Surat Ali Imran termasuk surat yang panjang (ada 200 buah ayat). Ali
Imran adalah nama seorang lelaki yang keluarganya terpilih oleh Allah
sebagai keluarga yang diberkati (yaitu keluarga Ali Imran). Nama Ali
Imran diabadikan di dalam Al-Quran sebagai salah satu nama surat.
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),
(3:33)
Kisah Maryam dalam Surat Al Imran
Ternyata maksud Allah memilih keluarga Ali Imran adalah karena dari
pasangan suami istri ini lahir salah seorang wanita yang mulia dalam
sejarah yaitu Maryam (atau Maria dalam Alkitab). Saya baru tahu kalau
Maryam itu adalah putri Ali Imran.Ketika Maryam masih di dalam kandungan, istri Imran bernazar akan
“menyerahkan” anaknya itu kepada Allah sebagai Pemelihara agar kelak
menjadi hamba yang soleh yang selalu berkhidmat di Baitul Maqdis
(Yerussalem). Hal ini tertulis di dalam ayat ke-35 yang terjemahannya
berbunyi:
(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku
menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu
terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (3:35)
Ketika tahu anak yang dilahirkan itu adalah perempuan, istri Imran
menamai anaknya Maryam, dan istri Imran meminta kepada Allah agar
anaknya itu dipelihara oleh Allah dan melindunginya dari syetan:
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata:
“Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia
Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya
kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” (3:36)
Allah menerima nazar istri Imran lalu mememrintahkan Zakaria sebagai
pengasuh dan pemelihara Maryam. Menurut para ahli tafsir Nabi Zakaria
itu adalah paman Maryam. Berarti benar ya keluarga besar Imran adalah
keluarga yang diberkati karena keturunannya menjadi orang-orang sholeh
(Imran, Maryam, Isa putera Maryam, Nabi Zakaria paman Maryam, dan Yahya
putera Zakaria).
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang
baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan
Zakariya pemeliharanya. (3:37)
Maryam tumbuh menjadi wanita yang kerjanya setiap hari hanya
beribadah dengan berkhidmat kepada Allah di Rumah-Nya di Baitul Maqdis.
Zakaria adalah “kuncen” Rumah Allah tersebut. Di sinilah Allah
menurunkan Rahmat-Nya kepada Maryam. Ada kisah Zakaria menemui Maryam
di mihrab, dia mendapati berbagai makanan yang lezat berada di samping
Maryam.
Beliau bertanya dari manakah datangnya makanan itu? Setahu dia Maryam tidak
pernah membawa makanan ke Rumah-Nya, selain beliau Nabi Zakaria sendiri yang selalu mengantarkan
makanan kepada Maryam.
Maryam menjawab :bahwa makanan itu berasal
langsung dari Allah, mungkin diturunkan dari langit atau melalui
perantara malaikat-Nya.
Lanjutan ayat 37 di atas:
Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi
Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab. (3:37)
Di dalam Surat Ali Imran juga dikisahkan bahwa Nabi Zakaria sudah tua
tetapi belum juga dikarunia anak. Mungkin terinspirasi dari
keponakannya, Maryam, yang menjadi ahli ibadah, Zakaria juga bermohon
agar dirinya diberi keturunan.
Di sanalah Zakariya mendo’a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya
Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a”. (3:38)
Ketika Zakaria sedang shalat di mihrab, berserulah malaikat Jibril kepadanya:
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah
berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah
menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang
membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan
diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang
saleh”. (3:39)
Zakaria yang kaget mendapat wahyu dari malaikat Jibril merasa heran,
bagaimana mungkin dia akan memperoleh anak seangkan sitrinya seorang
yang mandul. Allah menjawab (melalui malaikat Jibril) hal itu mudah saja
bagi-Nya, apapun yang Dia kehendaki maka akan terjadi (kun fayakun).
Zakariya berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak
sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang yang mandul?”.
Berfirman Allah: “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”.
(3:40)
Zakaria masih tetap belum yakin dia akan mempunyai anak, oleh karena
itu dia meminta suatu tanda bahwa istrinya bakal mengandung. Allah
mengatakan bahwa tanda-tanda istrinya mengandung adalah Zakaria tidak
akan bisa berbicara selama tiga hari, kecuali pakai bahasa isyarat.
Berkata Zakariya: “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah
mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat
berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat.
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di
waktu petang dan pagi hari”. (3:41)
Kelak anak yang lahir dari kandungan itu diberi nama Yahya dan
menjadi Nabi yang ke-23 setelah Zakaria. Dari sini kita juga tahu bahwa
Nabi Yahya semasa hidupnya dengan Maryam.
Kembali ke kisah Maryam tadi. Allah telah memilih Maryam sebagai wanita solehah yang dilebihkan dari wanita lain di dunia.
Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam,
sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan
kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). (3:42)
Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu
menyembah Allah, selalu sujud dan rukuk kepada Allah bersama orang-orang
lainnya lainnya yang menyembah Allah.
Hai Maryam, ta’atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’. (3:43)
Sampai suatu hari Allah akan memberikan suatu keajaiban yang tidak
disangka-sangka bagi Maryam. Allah mengabarkan bahwa Maryam akan
mengandung seorang anak lelaki yang namanya sudah ditentukan oleh Allah
yaitu Isa Al Masih (atau Al Masih isa putera Maryam).
(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya
Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang
diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih
‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), (3:45)
Ketika masih bayi Isa kelak memiliki mukjizat yaitu sudah bisa berbicara dengan manusia:
dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh.” (3:46)
Maryam tentu saja merasa kaget, bagaiman mungkin dia akan mengandung,
padahal dia belum menikah, dan dia belum pernah disentuh atau
berhubungan dengan lelaki manapun. Tentu saja, karena Maryam kerjanya
setiap hari hanyalah berkhidmat kepada Allah di Baitul Maqdis. Dia
jarang keluar dari Rumah-Nya, apalagi bergaul dengan lelaki. Allah
menjawab seperti kasus Nabi Zakaria di atas, bahwa hal itu mudah saja
bagi-nya, kun fayakun, maka apapunyang Dia kehendaki pasti akan terjadi. Dialah Sllah SWT yang Maha Pencipta.
Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” Allah
berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu,
maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia.
(3:47)
Kisah kelahiran Isa akan saya ceritakan pada tulisan yang lain. Allah
memilih Isa sebagai Rasul-Nya, memberinya kitab Injil dan
mengajarkannya kitab-kitab yang terdahulu yaitu Taurat dan zabur.
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. (3:48)
Allah mengutus Nabi Isa kepada Bani Israil. Kepada Bani Israil Nabi
Isa menjelaskan tanda-tanda kenabiannya yaitu mukjizat menghidupkan
burung dari tanah liat, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta
dan berpenyakit kusta.
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada
mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu
tanda (mu’jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah
berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung
dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari
lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang
mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan
dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu
sungguh-sungguh beriman. (3:49)
Nabi Isa berkata kepada kaumnya bahwa dia membenarkan kitab-itab
terdahulu yang telah diturunkan kepada Nabi Musa (Taurat) dan Nabi Daud
(Zabur), lalu menghalalkan apa yang dahulu diharamkan.
Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang
sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan
untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu’jizat)
daripada Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan ta’atlah
kepadaku. (3:50)
Lalu Nabi Isa meminta kaumnya agar menyembah Allah SWT sebagai jalan yang benar.
Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus”. (3:51)
Demikianlah sekelumit kisah Maryam di dalam Surat Ali Imran.
Sumber rinaldimunir.wordpress
Bank Syariah tapi tidak syariah
Sejak bank syariah berkembang pesat di tanah air, saya sudah
memindahkan semua rekening saya dari bank konvensional ke bank syariah.
Kecuali satu rekening yang tidak saya pindahkan, yaitu rekening Bank
BN*, karena semua transfer honor maupun gaji dari ITB “harus” dilakukan
melalui bank BN* tersebut karena ada MOU antara ITB dan Bank BN*.
Alasan saya membuka rekening di bank syariah adalah untuk mendapatkan ketentraman secara ruhani, sebab bank syariah tidak menggunakan sistem ribawi dalam operasionalnya, yaitu sistem bunga uang yang diharamkan oleh agama.
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs.Al Baqarah:275).
Saya yakin Anda semua sudah faham tentang riba atau rente.
Misalnya anda meminjam Rp1000,- kepada seseorang atau kepada bank, lalu orang atau bank tersebut mewajibkan Anda mengembalikannya sebesar Rp1100, maka Rp100 kelebihannya itu adalah riba, sesuatu yang sudah diharamkan oleh agama.
Bank Syariah
Mulanya saya menabung atau menyimpan deposito di Bank Syariah tentu saja dengan keyakinan seperti itu. Saya mendapatkan bagi hasil per bulan dari uang yang saya simpan di bank. Darimana bagi hasil itu diperoleh? Pihak bank memutar uang nasabah untuk berbagai usaha yang menghasilkan profit, lalu bank mendapat keuntungan dari usaha tersebut. Keuntungan tersebut dibagi dua dengan nasabah, yang kisaran proporsinya biasanya sudah ditetapkan, misalnya 40% : 60% yang artinya 40% profit untuk nasabah dan 60% untuk bank. Jika untungnya besar, maka bagi hasilnya juga besar, jika untungnya kecil maka bagi hasilnya turun. Jika usaha tersebut mendatangkan kerugian, maka nasabah juga ikut menanggung rugi dengan tidak mendapat bagi hasil sama sekali. Ibaratnya berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Kalau untung dinikmati bersama-sama, kalau rugi ya sama-sama juga.
Bank konvensional
Bagi hasil itu dinamakan bunga (interest). Besar bunga fluktuatif dari awal, misalnya sekarang 8%. Hanya bedanya, jika bank mengalami kerugian dalam usahanya, maka nasabah tidak ikut menanggung kerugian, nasabah tetap saja mendapat bunga simpanan sebesar 8% tadi. Sebaliknya, jika bank mendapat untung besar dari memutar uang nasabah, bunga untuk nasabah tetap saja 8% sedangkan bank menikmati untung besar.
Dilihat dari kedua perbandingan di atas, maka sistem bagi hasil pada bank syariah terasa lebih adil dan manusiawi.
Baiklah, kalau soal simpan-menyimpan uang tidak ada keraguan bagi saya tentang bank syariah. Saya menyetujui sistem bagi hasil seperti itu. Keraguan saya mulai timbul ketika membaca tentang proses meminjam uang dari Bank Syariah.
Misalnya :
Anda meminjam uang untuk kredit membeli rumah (KPR), atau meminjam uang untuk dana talangan haji, sebesar Rp10 juta. Phak Bank setelah melakukan survei lalu menyetujui usulan pinjaman anda, mereka memberikan anda pinjaman uang Rp10 juta dengan didahului proses akad (yang istilahnya bermacam-macam). Dalam akad itu Anda dan bank menyepakati skema pembiayaan (pengembalian uang). Katakanlah anda nanti harus membayar kembalian sebesar Rp12 juta dengan cara mencicilnya per bulan, misalnya mencicil pembayaran sebesar Rp1.200.000/bulan selama sepuluh bulan. Di sini bank mengambil keuntungan Rp2 juta dari pinjaman Anda.
Dari contoh peminjaman uang yang saya paparkan di atas, maka saya jadi bertanya-tanya, apa bedanya model bank syariah sekarang ini dengan bank konvensional?
Menurut pendapat saya yang awam ini, mereka sama-sama memungut riba, hanya istilahnya saja yang berbeda. Pada bank konvensional namanya bunga, pada Bank Syariah namanya skema bagi hasil. Intinya sama saja, yaitu riba.
Pada bank konvensional skema pengembaliannya adalah membayar pinjaman plus bunganya, sedangkan pada bank syariah namanya mencicil per bulan. Pada bank syariah ada istilah akad kredit, pada bank konvensional namanya skema kredit (atau apapun namanya).
Pada hekekatnya, praktek keduanya sama saja. Malah, pada beberapa kasus saya pernah mendengar bank syariah lebih “kejam” daripada bank konvensional, sebab mereka menerapkan “bunga” lebih tinggi daripada bank konvensional.
Pada tulisan itu dikemukakan perdebatan yang terjadi anatra pendukung bank syariah dengan pihak yang tidak mendukung, masing-masing merasa yakin dengan argumentasinya.
Hingga saat ini saya masih tetap menggunakan bank syariah, alasannya karena di situ saya hanya menabung saja, tidak sampai meminjam uang. Kalau sekadar menabung saja sih bagi saya masih oke, tidak ada masalah (itu menurut pendapat saya lho). Tapi kalau soal peminjaman uang yang ada kelebihan yang harus dibayarkan (dengan berbagai nama dan istilah), disitulah titik krusial keraguan pada praktek bank syraiah.
Bank Syariah tapi tidak syariah.
Alhamdulillah saya belum pernah meminjam uang ke bank (moga-moga jangan deh), baik ke bank konvensional maupun bank syariah, jadi saya belum mempunyai masalah dalam praktek sistem ribawi ini.
Jadi, menurut saya sebenarnya belum ada bank syariah di Indonesia yang benar-benar menerapkan sistem perbankan secara syar’i (sesuai ajaran agama). Lalu, kalau pun belum ada, apakah bunga uang pada bank konvensional menjadi halal? Menurut saya tidak juga, bunga uang pada bank konvensional tetap saja 100% haram hukumnya. Keraguan pada bank syariah tidaklah mengubah bunga bank konvensional otomatis menjadi halal.
Principku
"Saya masih tetap menabung di syariah. Selain karena hanya sekadar menabung, ada lagi alasan yang lebih prinsipil. Bank-bank syariah itu di-back-up oleh para ulama (namanya Dewan Syariah Nasional). Merekalah yang mengeluarkan fatwa tentang praktek perbankan syariah. Saya yakin fatwa para ulama itu adalah baik, sebab mereka meiliki kompetensi disitu. Jadi, jika nanti saya ditanya di akhirat mengapa saya tetap menggunakan bank syariah, maka saya sudah mempunyai jawaban: tanyakanlah kepada para ulama itu. Jika fatwa ulama sudah benar secara syar’i tetapi dimultitafsirkan oleh pengelola bank syariah sehingga hampir mirip dengan sitem ribawi, maka silakan pengelola bank itu menanggung dosanya."
Alasan saya membuka rekening di bank syariah adalah untuk mendapatkan ketentraman secara ruhani, sebab bank syariah tidak menggunakan sistem ribawi dalam operasionalnya, yaitu sistem bunga uang yang diharamkan oleh agama.
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs.Al Baqarah:275).
Saya yakin Anda semua sudah faham tentang riba atau rente.
Misalnya anda meminjam Rp1000,- kepada seseorang atau kepada bank, lalu orang atau bank tersebut mewajibkan Anda mengembalikannya sebesar Rp1100, maka Rp100 kelebihannya itu adalah riba, sesuatu yang sudah diharamkan oleh agama.
Bank Syariah
Mulanya saya menabung atau menyimpan deposito di Bank Syariah tentu saja dengan keyakinan seperti itu. Saya mendapatkan bagi hasil per bulan dari uang yang saya simpan di bank. Darimana bagi hasil itu diperoleh? Pihak bank memutar uang nasabah untuk berbagai usaha yang menghasilkan profit, lalu bank mendapat keuntungan dari usaha tersebut. Keuntungan tersebut dibagi dua dengan nasabah, yang kisaran proporsinya biasanya sudah ditetapkan, misalnya 40% : 60% yang artinya 40% profit untuk nasabah dan 60% untuk bank. Jika untungnya besar, maka bagi hasilnya juga besar, jika untungnya kecil maka bagi hasilnya turun. Jika usaha tersebut mendatangkan kerugian, maka nasabah juga ikut menanggung rugi dengan tidak mendapat bagi hasil sama sekali. Ibaratnya berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Kalau untung dinikmati bersama-sama, kalau rugi ya sama-sama juga.
Bank konvensional
Bagi hasil itu dinamakan bunga (interest). Besar bunga fluktuatif dari awal, misalnya sekarang 8%. Hanya bedanya, jika bank mengalami kerugian dalam usahanya, maka nasabah tidak ikut menanggung kerugian, nasabah tetap saja mendapat bunga simpanan sebesar 8% tadi. Sebaliknya, jika bank mendapat untung besar dari memutar uang nasabah, bunga untuk nasabah tetap saja 8% sedangkan bank menikmati untung besar.
Dilihat dari kedua perbandingan di atas, maka sistem bagi hasil pada bank syariah terasa lebih adil dan manusiawi.
Baiklah, kalau soal simpan-menyimpan uang tidak ada keraguan bagi saya tentang bank syariah. Saya menyetujui sistem bagi hasil seperti itu. Keraguan saya mulai timbul ketika membaca tentang proses meminjam uang dari Bank Syariah.
Misalnya :
Anda meminjam uang untuk kredit membeli rumah (KPR), atau meminjam uang untuk dana talangan haji, sebesar Rp10 juta. Phak Bank setelah melakukan survei lalu menyetujui usulan pinjaman anda, mereka memberikan anda pinjaman uang Rp10 juta dengan didahului proses akad (yang istilahnya bermacam-macam). Dalam akad itu Anda dan bank menyepakati skema pembiayaan (pengembalian uang). Katakanlah anda nanti harus membayar kembalian sebesar Rp12 juta dengan cara mencicilnya per bulan, misalnya mencicil pembayaran sebesar Rp1.200.000/bulan selama sepuluh bulan. Di sini bank mengambil keuntungan Rp2 juta dari pinjaman Anda.
Dari contoh peminjaman uang yang saya paparkan di atas, maka saya jadi bertanya-tanya, apa bedanya model bank syariah sekarang ini dengan bank konvensional?
Menurut pendapat saya yang awam ini, mereka sama-sama memungut riba, hanya istilahnya saja yang berbeda. Pada bank konvensional namanya bunga, pada Bank Syariah namanya skema bagi hasil. Intinya sama saja, yaitu riba.
Pada bank konvensional skema pengembaliannya adalah membayar pinjaman plus bunganya, sedangkan pada bank syariah namanya mencicil per bulan. Pada bank syariah ada istilah akad kredit, pada bank konvensional namanya skema kredit (atau apapun namanya).
Pada hekekatnya, praktek keduanya sama saja. Malah, pada beberapa kasus saya pernah mendengar bank syariah lebih “kejam” daripada bank konvensional, sebab mereka menerapkan “bunga” lebih tinggi daripada bank konvensional.
Pada tulisan itu dikemukakan perdebatan yang terjadi anatra pendukung bank syariah dengan pihak yang tidak mendukung, masing-masing merasa yakin dengan argumentasinya.
Hingga saat ini saya masih tetap menggunakan bank syariah, alasannya karena di situ saya hanya menabung saja, tidak sampai meminjam uang. Kalau sekadar menabung saja sih bagi saya masih oke, tidak ada masalah (itu menurut pendapat saya lho). Tapi kalau soal peminjaman uang yang ada kelebihan yang harus dibayarkan (dengan berbagai nama dan istilah), disitulah titik krusial keraguan pada praktek bank syraiah.
Bank Syariah tapi tidak syariah.
Alhamdulillah saya belum pernah meminjam uang ke bank (moga-moga jangan deh), baik ke bank konvensional maupun bank syariah, jadi saya belum mempunyai masalah dalam praktek sistem ribawi ini.
Jadi, menurut saya sebenarnya belum ada bank syariah di Indonesia yang benar-benar menerapkan sistem perbankan secara syar’i (sesuai ajaran agama). Lalu, kalau pun belum ada, apakah bunga uang pada bank konvensional menjadi halal? Menurut saya tidak juga, bunga uang pada bank konvensional tetap saja 100% haram hukumnya. Keraguan pada bank syariah tidaklah mengubah bunga bank konvensional otomatis menjadi halal.
Principku
"Saya masih tetap menabung di syariah. Selain karena hanya sekadar menabung, ada lagi alasan yang lebih prinsipil. Bank-bank syariah itu di-back-up oleh para ulama (namanya Dewan Syariah Nasional). Merekalah yang mengeluarkan fatwa tentang praktek perbankan syariah. Saya yakin fatwa para ulama itu adalah baik, sebab mereka meiliki kompetensi disitu. Jadi, jika nanti saya ditanya di akhirat mengapa saya tetap menggunakan bank syariah, maka saya sudah mempunyai jawaban: tanyakanlah kepada para ulama itu. Jika fatwa ulama sudah benar secara syar’i tetapi dimultitafsirkan oleh pengelola bank syariah sehingga hampir mirip dengan sitem ribawi, maka silakan pengelola bank itu menanggung dosanya."
Related Posts :
Hak Zakat untuk Anak Yatim
Sumber : rinaldimunir.wordpress.com
Hak Zakat untuk Anak Yatim
Seorang rekan senior bertanya kepada saya, apakah saya mudik pada lebaran tahun ini? Tidak, jawab saya, karena saya sudah tidak punya orang tua lagi di kampung halaman. Wah, kalau begitu anda yatim piatu dong, katanya. Anda berhak menerima zakat tuh, katanya setengah bercanda.
Ha..ha, jelas tidak. Setahu saya anak yatim bukanlah salah satu dari delapan asnaf (orang yang berhak menerima zakat).
Dari pelajaran agama yang saya ketahui ada 8 golongan asnaf, yaitu
1.fakir (orang yang tidak memiliki harta),
2.miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi),
3.riqab (hamba sahaya atau budak),
4.gharim (orang yang memiliki banyak hutang),
5. mualaf (orang yang baru masuk Islam),
6.fisabilillah (pejuang di jalan Allah),
7.ibnu sabil (musyafir dan para pelajar perantauan), dan
8.amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat)
Karena anak yatim bukan salah satu dari delapan asnaf, maka mereka tidak berhak menerima zakat, sebab anak yatim berada di bawah tanggungan orang yang berzakat (keluarganya atau famili dekat/jauh). Saya pernah membaca jawaban Pak K.H Miftah Farid (ulama tawadhu dari Bandung) tentang pertanyaan apakah anak yatim boleh menerima zakat. ?
Jawaban Pak Miftah,
"jikalau memberi zakat karena keyatimannya jelas tidak boleh. Namun kalau memberi zakat kepada anak yatim karena kemiskinannya, maka itu boleh.
Nah, kalau alasannya karena anak yatim itu miskin, saya sepakat (atau bisa diperluas jika ia banyak utang, fisabilillah, ibnu sabil, dst). Soalnya, anak yatim belum tentu semuanya miskin lho. Banyak juga anak yatim dari keluarga berada, mereka yang menjadi yatim karena ditinggal ayah/bundanya, namun memiliki warisan yang lumayan untuk bekal hidupnya."
Note:
Beda lagi alasanya jika anak yatim piatu dia punya penghasilan memadai dan orangtua nya meninggalkan warisan yang cukuplah buat mereka para anaknya, jadi saya merasa bukan salah satu dari delapan asnaf.
Yang menyedihkan, banyak lembaga sosial yang mengatasnamakan anak yatim memasang spanduk menerima zakat dan shadaqah. Jika tidak hati-hati, bisa salah paham dengan menganggap anak yatim berhak menerima zakat karena keyatimannya itu. Petugas penerima shadaqah/zakat di suatau lembaga amil zakat yang mengatasnamakan anak yatim pernah saya tanya tentang hal ini, tapi tampaknya dia tidak mengerti dengan mengatakan bahwa anak yatim kan boleh menerima zakat.
Note:
"Tentu boleh, namun jangan salah niat memberi Zakat harus karena faktor kemiskinannya, bukan karena keyatimannya, Karena kemiskinannya itu maka ia tidak mampu membayar biaya sekolah..
Supaya tidak salah paham, biasanya ketika saya memberi uang kepada anak yatim atau lembaga amal yatim, maka saya meniatkannya bukan atas nama zakat, tetapi atas nama sadaqah. Nah, kalau sadaqah bisa buat siapa saja, termasuk anak yatim.
Masalah ini menurut saya sama dengan pertanyaan apakah Masjid boleh menerima Zakat?
Coba perhatikan, banyak Panitia Pembangunan Masjid memasang spanduk di jalanan bahwa masjidnya menerima titipan zakat, infaq, dan sadaqah untuk menyelesaikan pembangunan masjid. Karena masjid bukan manusia, maka masjid tidak termasuk salah satu dari delapan asnaf. Mungkin yang lebih tepat adalah memberikan sumbangan ke masjid atas nama waqaf, lebih tepatnya waqaf pembangunan masjid.
Kutipan blog tetangga yang harus diingat.
Hak Zakat untuk Anak Yatim
Seorang rekan senior bertanya kepada saya, apakah saya mudik pada lebaran tahun ini? Tidak, jawab saya, karena saya sudah tidak punya orang tua lagi di kampung halaman. Wah, kalau begitu anda yatim piatu dong, katanya. Anda berhak menerima zakat tuh, katanya setengah bercanda.
Ha..ha, jelas tidak. Setahu saya anak yatim bukanlah salah satu dari delapan asnaf (orang yang berhak menerima zakat).
Dari pelajaran agama yang saya ketahui ada 8 golongan asnaf, yaitu
1.fakir (orang yang tidak memiliki harta),
2.miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi),
3.riqab (hamba sahaya atau budak),
4.gharim (orang yang memiliki banyak hutang),
5. mualaf (orang yang baru masuk Islam),
6.fisabilillah (pejuang di jalan Allah),
7.ibnu sabil (musyafir dan para pelajar perantauan), dan
8.amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat)
Karena anak yatim bukan salah satu dari delapan asnaf, maka mereka tidak berhak menerima zakat, sebab anak yatim berada di bawah tanggungan orang yang berzakat (keluarganya atau famili dekat/jauh). Saya pernah membaca jawaban Pak K.H Miftah Farid (ulama tawadhu dari Bandung) tentang pertanyaan apakah anak yatim boleh menerima zakat. ?
Jawaban Pak Miftah,
"jikalau memberi zakat karena keyatimannya jelas tidak boleh. Namun kalau memberi zakat kepada anak yatim karena kemiskinannya, maka itu boleh.
Nah, kalau alasannya karena anak yatim itu miskin, saya sepakat (atau bisa diperluas jika ia banyak utang, fisabilillah, ibnu sabil, dst). Soalnya, anak yatim belum tentu semuanya miskin lho. Banyak juga anak yatim dari keluarga berada, mereka yang menjadi yatim karena ditinggal ayah/bundanya, namun memiliki warisan yang lumayan untuk bekal hidupnya."
Note:
Beda lagi alasanya jika anak yatim piatu dia punya penghasilan memadai dan orangtua nya meninggalkan warisan yang cukuplah buat mereka para anaknya, jadi saya merasa bukan salah satu dari delapan asnaf.
Yang menyedihkan, banyak lembaga sosial yang mengatasnamakan anak yatim memasang spanduk menerima zakat dan shadaqah. Jika tidak hati-hati, bisa salah paham dengan menganggap anak yatim berhak menerima zakat karena keyatimannya itu. Petugas penerima shadaqah/zakat di suatau lembaga amil zakat yang mengatasnamakan anak yatim pernah saya tanya tentang hal ini, tapi tampaknya dia tidak mengerti dengan mengatakan bahwa anak yatim kan boleh menerima zakat.
Note:
"Tentu boleh, namun jangan salah niat memberi Zakat harus karena faktor kemiskinannya, bukan karena keyatimannya, Karena kemiskinannya itu maka ia tidak mampu membayar biaya sekolah..
Supaya tidak salah paham, biasanya ketika saya memberi uang kepada anak yatim atau lembaga amal yatim, maka saya meniatkannya bukan atas nama zakat, tetapi atas nama sadaqah. Nah, kalau sadaqah bisa buat siapa saja, termasuk anak yatim.
Masalah ini menurut saya sama dengan pertanyaan apakah Masjid boleh menerima Zakat?
Coba perhatikan, banyak Panitia Pembangunan Masjid memasang spanduk di jalanan bahwa masjidnya menerima titipan zakat, infaq, dan sadaqah untuk menyelesaikan pembangunan masjid. Karena masjid bukan manusia, maka masjid tidak termasuk salah satu dari delapan asnaf. Mungkin yang lebih tepat adalah memberikan sumbangan ke masjid atas nama waqaf, lebih tepatnya waqaf pembangunan masjid.
Kutipan blog tetangga yang harus diingat.